Analisis Kasus Sengketa Laut Cina Selatan dan Dampaknya Bagi Indonesia
Sebagai salah satu kawasan dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, kawasan Asia Pasifik seringkali dianggap sebagai kawasan yang sangat rentan terhadap konflik dengan dasar keseimbangan kawasan yang tergolong rapuh. Salah satu konflik teritorial yang mengemuka di kawasan Asia Pasifik adalah konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara di kawasan ini termasuk diantaranya Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Kawasan
Laut China Selatan sebagai salah satu wilayah perairan terluas di dunia
memiliki peran yang strategis baik dari segi ekonomi, politik dan keamanan
sehingga menjadikan kawasan ini memiliki potensi kerja sama yang besar yang
dapat dimanfaatkan oleh negaranegara di sekitar kawasan ini, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa kawasan ini juga mengandung potensi konflik yang cukup besar.
Berdasarkan data Badan Informasi Energi Amerika Serikat, kawasan Laut China
Selatan menyimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam
hingga 190 triliun kaki kubik, hal tersebut memicu banyak negara yang saling
melakukan klaim kepemilikan atas kawasan ini. Selain itu dengan letak
geografisnya yang strategis, kawasan Laut China Selatan memiliki peran penting
sebagai jalur lalu lintas pelayaran, perdagangan maupun distribusi berbagai
jenis komoditas dari seluruh dunia. Dengan berbagai perannya yang strategis,
kawasan Laut Cina Selatan telah lama menjadi obyek perdebatan sengketa
regional.
Awal
mula terjadinya konflik di Laut China Selatan diawali oleh pernyataan
Pemerintah Republik Rakyat China yang mengklaim hampir seluruh wilayah perairan
Laut China Selatan yang didasarkan pada teori Nine Dash Line. Sedangkan,
pengertian Nine Dash Line merupakan sembilan titik imajiner yang
menunjukkan klaim Cina atas hampir seluruh Laut China Selatan.
Berdasarkan
teori tersebut membuat China menyatakan status pulau-pulau yang berada di
kawasan Laut Cina Selatan masuk dalam wilayah teritorialnya. Hal tersebut
membuat negara-negara di sekitar kawasan tersebut seperti Filipina, Vietnam,
Taiwan, Brunei Darussalam dan Malaysia berang dikarenakan mereka juga mengklaim
bahwa sebagian wilayah Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Zona Ekonomi
Eksklusif mereka.
Indonesia
sebagai negara yang tidak terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan kini mulai
terseret ke dalam pusaran konflik tersebut dikarenakan Cina juga memasukkan
perairan natuna di Kabupaten Natuna sebagai wilayah maritimnya berdasarkan
klaim Nine Dash Line. Hal tersebut membuat Indonesia mempertanyakan
maksud Cina yang memasukkan perairan Kabupaten Natuna sebagai wilayah
maritimnya.
Pengertian
Nine Dash Line adalah peta teritorial yang membubuhkan sembilan garis
putus-putus sebagai penanda atau batas pemisah imajiner yang digunakan
pemerintah China untuk mengklaim sebagian besar, yakni 90 persen, wilayah Laut
China Selatan. Republik Rakyat Cina (RRC) merupakan salah satu aktor utama
dalam sengketa Laut China Selatan yang mengklaim seluruh wilayah tersebut.
Klaim China ini didasarkan pada latar belakang sejarah Cina kuno tentang
wilayah kekuasaan kerajaannya. Menurut China, adalah Dinasti Han yang menemukan
wilayah ini pada abad ke-2 masehi. Pada abad ke-12, Dinasti Yuan kemudian
memasukkan Laut China Selatan ke dalam peta wilayahnya, yang kemudian kembali
diperkuat oleh Dinasti Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13. Pada Tahun 1947,
Cina membuat peta wilayah yang memuat 9 garis putus-putus (nine dashed lines)
yang membentuk huruf U, yang melingkupi seluruh Laut China Selatan. Semua
wilayah yang berada di dalam garis putus-putus tersebut diklaim China sebagai
wilayahnya. Hingga akhir 2013, klaim Cina tersebut masih belum berubah. Klaim China
tidak hanya diwujudkan dalam bentuk sikap politik, tetapi juga dalam bentuk
lain. Di bidang militer, China sering melakukan aksi patroli di perairan
tersebut yang kadang memicu bentrok dengan kapal dari negara lain seperti
Vietnam dan Filipina. Di bidang eksplorasi, China juga menempatkan peralatan
pengeboran di beberapa titik di Laut China Selatan.
Banyak
tafsiran menyatakan bahwa di Laut China Selatan ada beberapa fitur yang
merupakan pulau. Hal itulah yang menjadi akar konflik di Laut Cina Selatan
yaitu persoalan perebutan pulau atau karang. Diantara beberapa negara
pengklaim, Filipina merupakan yang paling keras menolak klaim Cina tersebut
hingga kemudian pada tahun 2013 Filipina mengajukan gugatan ke Permanent
Court Of Arbitration di Den Haag, Belanda, terkait klaim China atas Laut China
Selatan.
Berselang
3 tahun kemudian pada tanggal 12 Juli 2016, Permanent Court Of Arbitration
mengeluarkan putusan atas gugatan Filipina terhadap Tiongkok perihal Laut Cina
Selatan. Sesuai permintaan sang penggugat (Filipina), putusan Permanent
Court Of Arbitration menafsirkan atau lebih tepatnya mengklarifikasi
persoalan yang selama ini dianggap rancu (jika tidak bisa disebut „sengaja
dibuat rancu‟) dalam pusaran konflik Laut China Selatan.
Seperti
yang diharapkan, putusan ini mengklarifikasi, bukan mengakhiri konflik. Namun
klarifikasi ini ternyata menuntaskan beberapa bagian konflik. Sementara akar
konflik itu sendiri, sesuai dengan desakan Cina yang juga diamini ASEAN, hanya
dapat diselesaikan melalui mekanisme yang disepakati oleh para pihak yang
mengklaim, termasuk mekanisme melalui pihak ketiga seperti International Court
of Justice (ICJ).
Interpretasi
Permanent Court Of Arbitration terhadap UNCLOS 1982 ini sebenarnya
memudahkan para pihak yang bersengketa merundingkan kembali klaim mereka
masing-masing. Sebagaimana lazimnya, putusan Permanent Court Of Arbitration
ini hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Namun, karena sifatnya
menafsirkan, putusan akan berevolusi menjadi sumber hukum yang berlaku umum
(erga omnes) alias mengikat semua negara. Artinya, Filipina bukan penikmat
tunggal atas putusan ini.
Permanent
Court Of Arbitration dalam putusannya menetapkan : “.... although Chinese
navigators and fishermen, as well as those of other States, had historically
made use of the islands in the South China Sea, there was no evidence that
China had historically exercised exclusive control over the waters or their
resources. The Tribunal concluded that there was no legal basis for China to
claim historic rights to resources within the sea areas falling within the
„nine-dash line‟.”
Berdasarkan
pernyataan tersebut yang dimaksud adalah meski para pelaut dan nelayan Cina,
secara historis pernah menggunakan berbagai pulau di Laut China Selatan, tak
terdapat bukti kuat bahwa secara historis Cina pernah menguasi perairan
tersebut atau sumber alamnya. Pengadilan memutuskan bahwa tak ada dasar hukum
apapun bagi Cina untuk mengklaim hak historis terkait sumber daya alam di
lautan yang disebut masuk ke dalam 'sembilan garis batas.
Menurut
Ahmad Almauduy Amri, Putusan Permanent Court Of Arbitration menyatakan bahwa
negara tidak boleh mengklaim zona maritim di luar ketentuan yang sudah diatur
di dalam UNCLOS 1982. Berdasarkan ketentuan pasal 121 ayat 1 UNCLOS 1982
menetapkan :
1. An island is a
naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at
high tide.
2. Except as provided for
in paragraph 3, the territorial sea, the contiguous zone, the exclusive
economic zone and the continental shelf of an island are determined in
accordance with the provisions of this Convention applicable to other land
territory.
3. Rocks which cannot
sustain human habitation or economic life of their own shall have no exclusive
economic zone or continental shelf.
Berdasarkan
ketentuan tersebut maka patah sudah klaim China atas Laut hCina Selatan. Hal
tersebut dikarenakan tidak ada satupun fitur maritim di Laut China Selatan yang
bestatus pulau, yang ada hanya karang, batuan maupun LTE. Sehingga untuk fitur
maritim tersebut tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk mengukur sejauh 200
mil. Secara tidak langsung putusan ini memiliki dampak positif bagi Indonesia,
karena dengan tidak diakuinya klaim Nine Dash Line China tersebut maka
garis-garis putus dalam peta Nine Dash Line yang memasukkan perairan Natuna ke
dalamnya menjadi tidak sah. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa perairan
natuna merupakan bagian dari yursidiksi Indonesia yang dalam hal ini
berdasarkan ketentuan konvensi Indonesia memiliki hak berdaulat di perairan
natuna yang juga merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Dampak Sengketa Laut China Selatan
Laut
China Selatan dianggap penting oleh beberapa negara karena:
(1).
Letak Strategis. Secara geografis Laut China Selatan dikelilingi sepuluh Negara
pantai (RRT dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura,
Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina). LCS menjadi rute tersibuk di dunia,
karena lebih dari setengah perdagangan dunia berlayar melewati wilayah
tersebut.
(2).Potensi
ekonomi dan pentingnya geopolitik termasuk kandungan kekayaan alam yang ada di
dalamnya.
Indonesia
mempunyai kepentingan politik, keamanan dan ekonomi yang signifikan yang dipertaruhkan
apabila konflik itu muncul dan meningkat menjadi konflik bersenjata:
1.
Norma-norma dan peraturan global.
Indonesia mempunyai kepentingan besar terhadap
penyelesaian damai atas sengketa Laut China Selatan yang sesuai dengan
hukum-hukum internasional.
2.
Aliansi Keamanan dan Stabilitas regional.
Sampai
saat ini Indonesia belum sampai kepada keperluan untuk membentuk Pakta
Pertahanan bersama antar anggota Asean karena dikhawatirkan seolah-olah akan
berhadapan langsung dengan Tiongkok.
3.
Kepentingan ekonomi.
Setiap
tahun, nilai perdagangan melintasi Laut Tiongkok Selatan senilai US$ 5,3
trilliun. Indonesia sendiri mempunyai pangsa pasar yang relatif besar mengingat
ekspor impor ke Tiongkok dan Jepang semuanya melalui Laut Tiongkok Selatan.
Belum lagi eksplorasi minyak dan gas dilaut Natuna.
4.
Hubungan ko-operatif dengan Tiongkok.
Pertaruhan
dan implikasi memburuknya hubungan Amerika-Tiongkok dan Tiongkok-dengan
Negara-negara Asean dalam klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan sangat
merugikan Indonesia.
Sejak
awal munculnya konflik di Laut China Selatan, Indonesia telah menyatakan
posisinya sebagai negara yang tidak memiliki klaim (non claimant state) apapun
terhadap Laut China Selatan. Namun saat ini Indonesia mulai ikut terseret ke
dalam konflik di Laut China Selatan setelah China mengeluarkan peta Nine Dash
Line yang memasukkan perairan Kepulauan Natuna di dalamnya. Indonesia pertama
kali mengetahui peta Nine Dashed Line pada tahun 1993, saat diselenggarakannya Workshop
Managing Potential Conflicts in South China Sea. Delegasi China pada waktu
itu mendistribusikan satu peta yang isinya Nine Dashed Line yang masuk sampai
perairan Natuna. Pihak Indonesia mempertanyakan maksud dari garis-garis dalam
peta tersebut namun Tiongkok tidak memberikan jawaban pasti perihal garis
tersebut.
Perairan
Natuna merupakan wilayah perairan yang merupakan bagian dari Kabupaten Natuna
yang secara administratif masuk ke dalam Provinsi Kepulauan Riau. Artinya
perairan Natuna merupakan wilayah perairan dan yurisdiksi dari Indonesia.
Secara tegas dan jelas berdasarkan Undang-Undang nasional, wilayah natuna
merupakan bagian integral dari Indonesia. Ketentuan hukum mengenai laut natuna
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Di dalam bagian
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia telah dicatat titik
koordinat yang menunjukkan letak geografis dari laut natuna.
Pulau
Natuna merupakan pulau terdepan yang menjadi titik dasar untuk menentukan
batas-batas perairan kepulauan Indonesia. Selain itu Indonesia menarik Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen dari Pulau Natuna sebagai titik dasarnya.
Di perairan kepulauan Natuna ini Indonesia memiliki kedaulatan penuh karena itu
termasuk dalam laut teritorial. Sementara untuk Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen, di wilayah tersebut Indonesia memiliki hak berdaulat.
Konsep
kedaulatan dan hak berdaulat merupakan dua konsep yang berbeda. Konsep
kedaulatan merujuk pada kewenangan penuh yang dimiliki suatu negara atas
wilayah yang meliputi wilayah daratan, perairan kepulauan dan laut teritorial
dimana di wilayah tersebut berlaku hukum nasional negara tersebut. Sedangkan
hak berdaulat adalah hak yang diberikan hukum internasional kepada suatu negara
untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pemanfaatan sumber daya
alam termasuk kegiatan lain berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982.
Meski begitu, Indonesia mengakui adanya
batas-batas maritim dengan negara lain yaitu dengan Vietnam dan Malaysia. Saat
ini Indonesia masih berunding mengenai hal tersebut meskipun sudah ada beberapa
hal yang telah disepakati. Terutama dengan malaysia mengenai adanya tradisional
fishing rights. Hal tersebut berbeda dengan Cina yang menyebut adanya
overlapping claims yang dilakukan oleh Indonesia dalam menetapkan Zona Ekonomi
Eksklusif yang dianggap Cina bersinggungan dengan wilayah Laut Cina Selatan yang
tengah diklaim oleh negara tersebut sehingga mengakibatkan adanya saling
tumpang tindih klaim. Sampai saat ini Indonesia tidak mengakui adanya
overlapping claims tersebut karena sejak awal Indonesia tidak mengakui apa yang
disebut Cina sebagai Nine Dash Line tersebut.
Sumber:
·
Hartati, Anna Yulia,. 2014. “Kebijakan
Luar Negeri Republik Indonesia Dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan (Era
Presiden Soeharto Sampai Presiden Jokowi).” Jurnal Sosio Dialektika.
Universitas Wahid Hasyim.
·
Pradana, Raden Florentinus Bagus Adhi
(2017) Akibat Hukum Klaim Nine Dash Line Cina Terhadap Hak Berdaulat Indonesia
Di Perairan Kepulauan Natuna (Khususnya Kabupaten Natuna) Menurut Unclos 1982.
.. pp. 1-10. ISSN .
·
Karmin Suharna, 2012, “Konflik dan Solusi
Laut Cina Selatan dan Dampaknya bagi Ketahanan Nasional”, Majalah Ketahanan
Nasional, Edisi 94, hlm. 33-34.
·
http://www.cnnindonesia.com/nasional/2016062
4092606-75-140606/indonesia-dan-china-dipusaran-laut-china-selatan/, diakses
pada tanggal 18 November 2021.
·
http://www.cnnindonesia.com/nasional/2016070
3151959-20-142745/ri-mesti-waspadai-dampakputusan-arbitrase-laut-china-selatan/,
diakses 18 Oktober 2021.
Posting Komentar untuk "Analisis Kasus Sengketa Laut Cina Selatan dan Dampaknya Bagi Indonesia"